Semangkuk Mie Ayam Ceker
langkahmu akan semakin berat apabila kamu tidak belajar mengikhlaskan apa-apa yang memang bukan takdirmu

“Setengah porsi mie ayam pake ceker, satu ya mas. Sama es teh satu”
Aku menuju meja pojok dekat pintu yang masih kosong. Meja yang sama, posisi kursi yang sama, namun kali ini hanya aku sendiri saja.
Tujuh bulan lalu aku kesini, dengan Damar. Kami menyantap menu yang sama dengan porsi yang berbeda. Kita sama-sama lahap, menghabiskan hingga tandas.
“Menurutmu gimana?”, tanyamu kala itu
“Eum mienya pas, kuah gurih, bumbu ayamnya kentel, tapi dominan rasa manis, kalo kebanyakan radak eneg, cekernya empuk jadi enak makannya. So far kalo dikasih sambel 8,5 deh” jawabku ala-ala food vlogger
“Bener-bener, kuah kentelnya tuh yang bikin enak tapi kalo kebanyakan eneg”, Damar memberi respon
Dan ternyata itu kali terakhir kita menyantap mie ayam ceker bersama.
Semangkuk mie ayam ceker dan satu gelas es teh sudah tersaji di atas meja. Alih-alih segera melahap makanan tersebut, aku terdiam sejenak, tersenyum teringat tawa renyah kita kala bercanda.
“Jika kala itu kubiarkan bentengku runtuh. Apa mungkin hingga kini, kita masih menyantap mie ayam ceker bersama?” batinku.
Aku segera menyudahi lamunan. Ku seruput es teh segar. Kuambil sendok dan sumpit, mengelapnya dengan tisu. Ku aduk mie ayam yang sudah ku taburi daun bawang dan dua sendok sambal. Aku mulai memakan semangkok mie ayam ceker ini, sumpit demi sumpit sesekali menyeruput kuah hingga akhirnya habis.
“… dan melewatkan seseorang karena keraguan diri sendiri atas diri sendiri itu cukup menyesahkan.”